Selasa, 18 Januari 2011

Merapi, Mataram Kuno dan Bencana Letusanya.

28 Oktober 2010 jam 19:18

Dulu saat msh berseragam putih merah tanpa alas kaki, ditiap pagi yg cerah saat aku berangkat menuju sekolah, aku selalu berjumpa dan memandangi sosoknya yg indah, berwarna biru cerah& diselimuti kabut2 tipis, dengan penuh kagum. Sesekali terbersit perasaan mistik, takut juga takjub mendengar cerita-cerita dongeng simbah2 dimalam hari menjelang tidur, saat mereka pernah menjadi saksi sejarah amuk kemarahannya...

"Kamu tau bukit2 dan gunung2 kecil di sbelah selatan, Timur&Barat desa kita itu, seperti Gunung kecil Singobarong, Gunung Sarean, Gunung Tugel dan gunung Ukir. Mereka di jaman dulu itu bagian dari Gunung Merapi, Mereka semua terlempar berkeping2 dari puncak merapi, dan mendarat di desa kita ini, saat itu merapi mengamuk, juga saat itu ular baru kliting raksasa mengelilingi seluruh lingkaran badan Gunung Merapi, hingga ada seorang Kyai (Org Sakti), yang memutus lidah Ular raksasa tersebut, saat ular tersebut berusaha menjulurkan lidahnya untuk menghubungkan Kepala dengan buntutnya"

Tiap anak2 yg hidup dan tumbuh di Kaki merapi, pasti mengetahui dengan baik dongeng2 ttg Uler Baru klinting ini. Ternyata peringatan lisan, cerita2 duka-nestapa Penghuni kaki merapi dimasa lalu, beberapa hari ini mengalami pengulangan siklusnya.
Pada puncak kemarahanya dimasa lalu, merapi pernah menghancurkan peradaban besar dan kemajuan tekhnologi masa lalu di Pulau Jawa, yaitu hancurnya Pusat Kerajaan Mataram Kuno di daerah Kedu (Magelang skrg), beserta situs2 sejarahnya (Candi Borobudur, Mendut, Pawon,  Ngawen, Candi Canggal dll) yg terpendam selama ratusan tahun (hingga belanda kembali menemukanya). Sehingga peradaban maju tersebut terpaksa mengungsi ke arah Timur Pulau Jawa (Kediri skrg).

Mudah2an dengan semakin majunya Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi, bencana besar bagi penghuni kaki merapi bisa diatasi, sehingga tidak harus menghancurkan peradaban penghuni kaki merapi dimasa depan, seperti yang pernah di alami oleh Nenek moyangnya Ribuan tahun yang lalu...

Turut berbela sungkawa utk saudara2ku di kecamatan Srumbung, Salam, Muntilan Kab.Magelang & Kab.Sleman. Mudah2an kalian semua kuat menghadapi cobaan, yg juga pernah menimpa nenek-moyang kita dulu.



Senin, 17 Januari 2011

5 + 1 Tahun Pemerintahan SBY, Penetrasi Neoliberalisme dan Politik Pencitraan (Disampaikan pada diskusi FMLK, 13 Oktober 2010)



1.     Pendahuluan

Seperti kita ketahui bersama, satu tahun lalu tepatnya tanggal 20 Oktober 2009, SBY dilantik sebagai President Republik Indonesia untuk periode kedua, setelah kemenanganya pada Pemilu president langsung tahun 2009 yang lalu.
Walaupun  kemenangan SBY tersebut seolah dipermukaan terlihat fantastis, akan tetapi banyak digugat dan dipersoalkan oleh banyak berbagai kalangan dari berbagai sisi yang terasa banyak kejanggalan. Kejanggalan dari sisi Etis tentang maraknya politik pencitraan yang lebih banyak mengumbar janji-janji Kampanye surga (memanipulasi program), yang ternyata tidak terealisir hingga hari ini, juga berbagai kritik terhadap metode meraup suara rakyat dengan Politik uang lewat jaringan Bisnis Keluarga Cikeas (Lihat, Buku Gurita Cikeas, Geoge Junus Aditjondro), Korupsi dan penggunaan Anggaran negara dan serangkaian manipulasi lewat system Pemilu, melalui aturan dan surat suara yang telah di desaind sedemikian rupa (operasi senyap), dengan menempatkan orang-orangnya seperti Andi Nurpati di KPU (sebelumnya Anas Urbaningrum).
Artinya, naiknya SBY ketampuk kekuasaan melalui pemilu tahun 2009 lalu, bukannya tanpa meninggalkan persoalan dan masalah bagi system perpolitikan dan nasib bangsa  Indonesia yang sedang berproses menuju kondisi yang lebih baik. hendaknya  kita sebagai Mahasiswa harus Objektif dan kritisi dalam membaca setiap persoalan dan fenomena besar yang sedang di hadapi bangsa dan negeri ini.

2.     Pemerintahan SBY dan Penetrasi Sistem Neoliberalisme di Indonesia. 

Sistem Neoliberalisme yang menyandarkan seluruh tatanan hajat hidup rakyat banyak diserahkan pada mekanisme pasar bebas, dengan meminimalisir campur tangan dan peran Negara, terbukti kian hari justru semakin menajamkan kontradiksi-kontradiski dalam berbagai sector kehidupan rakyat.
Dampak system Neoliberalisme terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia terus mengalami kemerosotan, kita bisa saksikan setiap harinya, bagaimana tingkat Kemiskinan, pengangguran, Gizi buruk, Kriminalitas, Kekerasan, rasa Frustasi sosial dan percobaan bunuh diri terus meningkat, bahkan eskalasinya semakin mendalam dan begitu luas kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi ditambah dengan bencana-bencana social yang hamper merata diseluruh negeri terus berlangsung silih berganti.
Seolah pemerintah dalam hal ini Rejim SBY alpha atau tidak hadir atau bersikap masa bodoh dalam serangkaian persoalan yang dihadapi rakyat, yang terjadi secara massif hamper setiap harinya. Kalaupun terlihat melakukan tindakan/kebijakan politik, tak lebih hanyalah bersifat seremonial dan procedural belaka (bagian dari Politik Tebar pesona dan pencitraan), tanpa diikuti dengan tindakan/kebijakan yang lebih nyata dan substantive dalam menyelesaikan dan menyentuh akar persoalan yang dihadapi Rakyat sehari-hari.


Sistem Neoliberal selain menyandarkan diri pada mekanisme pasar bebas, juga mendikte Negara-negara berkembang seperti Indonesia melalui lembaga-lembaga Keuangan dan kerjasama Internasional seperti Word Bank, IMF, IBRD, ADB, G8, ASEAN dan lain-lain, untuk membuka sebebas-bebasnya Sumber daya alamnya untuk di Eksploitasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa asing (MNC dan TNC) seperti Free Port, Mobil Oil, Caltec, Chevron dll, yang bergerak diberbagai sector usaha seperti pertembangan, Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, Sumberdaya laut dan belakangan di sector-sektor Public Service lainya. sementara negara (Pemerintah SBY) sebagai penjaga modalnya, dari tuntutan-tuntutan rakyat yang merasa diserobot dan disingkirkan serta dirugikan oleh perusahaan-perusahaan raksasa tersebut.

Sistem Neoliberalisme juga terus mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan Privatisasi asset-aset vital Negara (BUMN) seperti Privatisasi PT.Krakatau Steel, PTDI, PT.Angkasa Pura, PT.Indosat, PT.Pelindo, PTPN-PTPN, PT.BNI. PT.Bank Mandiri dll, sebentar lagi asset-aset vital Negara yang tersisa seperti PT.PLN, PDAM, PT.KAI akan segera menyusul untuk dijual kepada asing.
Bisa dibayangkan, jika Sektor-sektor usaha vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh swasta apa lagi asing, maka harga-harga kebutuhan dasar rakyat yang sudah miskin ini harus diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, yang pastinya untuk tujuan dan kepentingan Profit semata.

Sistem Neoliberalisme juga secara meyakinkan telah dan akan semakin mematikan industri dan usaha-usaha kecil dalam negeri (rakyat), seperti pedagang dan pasar-pasar tradisional digusur digantikan oleh Mall-mall besar (modal besar), Industri otomotif dan elektronik dalam negeri serta perbengkelan rakyat di gantikan oleh Industri otomotif raksasa Jepang, AS, Eropa, India dan Malaysia. Indutri kecil makanan dan minuman mulai di kalahkan oleh Perusahaan-perusahaan modal asing, Industri pertanian dan perkebunan dalam negeri, tiap tahunya diserbu oleh produk-produk Impor, dan masih banyak lagi sector-sektor industri dalam negeri yang sedang menunggu ajalnya, Ironisnya ini semua justru didukung oleh pemerintahan SBY, yang mengabdi bagi kepentingan Sistem Neoliberalisme.


3.     Kondisi Kehidupan Rakyat dan Potensi-potensi Perlawanan Rakyat.

Sesacar umum kondisi kehidupan rakyat dibawah cengkeraman sistem Neolib saat ini mengalami tekanan hidup dan kemiskinan yang kian mendalam. Lapangan pekerjaan dan lapangan usaha serta persaingan di tataran bawah yang dirasa kian sulit, sering sekali memicu Kemarahan dan emosi rakyat, seperti tawuran, bentrokan, bahkan gejala-gejala frustasi sosial sangat mudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari makin banyaknya pengemis dan gelandangan yang menghiasi jalan-jalan perkotaan, Pengangguran di pelosok pedesaan dan kota-kota, menjamurnya Pedagang asongan, kaki lima, Pengamen, buruh-buruh bangunan harian lepas, menjamurnya tukang ojek di setiap pinggir jalan, Buruh tani yang tidak punya tanah, Nelayan yang makin sulit mencari ikan, anak-anak putus sekolah dan masih banyak lagi.
Kue Pembangunan ekonomi yang hanya berkisar 20% diperebutkan oleh hampir 85% rakyat miskin dan menengah kebawah di Indonesia. Sementara kue ekonomi yang 80% dinikmati secara bebas oleh kalangan elit Penguasa dan kaum Modal yang jumlahnya tak lebih hanya 15%. Selanjutnya Kita bisa melihat gambaran umum sektor-sektor rakyat sebagai berikut :

A.     Sektor Buruh / Kaum Pekerja.
Kaum pekerja di Indonesia saat ini memiliki jumlah yang sangat besar dan merupakan sector yang secara riel menggerakan roda ekonomi Negara. Kaum buruh di Indonesia terbagi kedalam berbagai sector / bidang-bidang pekerjaan seperti Buruh Pabrik (Manufakture), yang berada di kota-kota besar atau kota-kota Industri, umumnya pekerja manufaktur ini jumlahnya cukup besar, yang bidang kerjanya adalah membuat atau memproduksi barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti Pabrik Garment dan Tekstil, Sepatu, Makanan dan Minuman, Kimia dan Obat-obatan, Otomotif dan Elektronik, Mebel dan perkayuan, Pabrik Rokok dan tembakau dll. Diluar Buruh Manufaktur ada juga beberapa sector seperti buruh Pertambangan, buruh Transportasi, Perkebunan, Mall, Perbankan, Public service, Perhotelan, Restoran dll.
Secara umum banyak sekali persoalan yang dihadapi kaum pekerja Indonesia saat ini, seperti rendahnya Upah (penetapan upah masih minimum belum upah layak), Kondisi kerja yang buruk, Sistem Outsourching (sub kontrak) yang tidak manusiawi, Jaminan social yang buruk, Jam kerja yang panjang (harus lembur karena upahnya rendah), hak berserikat yang masih dihambat (Union Busting) dll, dihadapan biaya hidup yang terus naik, seperti kebutuhan makan, pakaian, Transportasi, rekreasi dan perumahan yang mahal untuk dijangkau kaum pekerja Indonesia.
Ditengah berbagai persoalan diatas, sampai hari ini kaum buruhlah sektor rakyat yang relatif paling masif dan progersif melakukan perlawanannya, baik terhadap Perusahaan (kaum Modal), maupun terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan mereka. Walaupun secara kwantitas perlawanannya masih bersifat tuntutaan Ekonomis menuntut kesejahteraan (seperti menuntut kenaikan Upah, pembayaran THR, Jamsostek, Cuti dll). Umumnya tuntutan kaum buruh dilakukan dengan cara Pemogokan di tempat kerja dan aksi-aksi ke kantor pemerintah seperti Depnaker, DPRD, Kantor Bupati, Gubernur dan Istana Negara. Walau begitu perlawanan kaum buruh sudah mulai mengangkat isyu-isyu Politik seperti penolakan terhadap UU No 13/2003, menolak Privatisasi BUMN, menuntut pemerintah menurunkan harga dan TDL, menuntut SBY mundur, menolak perdagangan bebas dan system Neolib dll.

B.     Sektor Petani dan Nelayan.
Kaum Tani dan Nelayan nasibnya tidak jauh berbeda dengan Kaum Buruh, bahkan mungkin lebih terpuruk lagi, mahalnya biaya produksi pertanian seperti pupuk, bibit, alat bajak dan penggilingan bagi hasil pertanian, tak sebanding dengan harga produk-produk pertanian yang di hasilkan. Selain itu Petani Indonesia dibiarkan bertahan dan bertarung sendiri (tanpa insentif dan subsidi pemerintah), menghadapi banjirnya  produk-produk pertanian impor dari Negara-negara maju, yang memang disubsidi dan diberikan insentif yang besar oleh negaranya. Belum lagi menghadapi spekulan harga di pasar, mengahadpi rentenir dan sulitnya mendapatkan permodalan untuk meningkatkan produk-produk pertanian, perkebunan dan peternakan bagi kaum Tani. Ditambah lagi dengan bertubi-tubinya bencana alam banjir, tanah longsor, hama tiap tahun yang menghancurkan hasil produk-produk pertanian. Banyak petani yang terus mengalami kerugian dan dipaksa menjual tanah-tanahnya dihadapan system ekonomi neolib. Umumnya generasi muda Petani yang sulit mencari nafkah dan bertahan hidup di pedesaan, memilih berangkat ke Kota atau Luar Negeri untuk mencari pekerjaan, dengan bekal keahlian dan keterampilan yang minim.
Nelayan Indonesia yang jumlahnya cukup besar tinggal di tepi-tepi pantau seluruh kepulauan Indonesia, nasibnya juga tidak lebih beruntung dari Kaum Tani, mahalnya Kapal, Jaring dan alat-alat penangkap ikan membuat jumlah tangkapan dan harga ikan yang mereka hasilkan tak lebih hanya sekedar cukup untuk bertahan hidup. Selain itu mereka dibiarkan bebas bertarung (tanpa insentif dan subsidi Negara) dengan Nelayan-nelayan asing yang memiliki tekhnologi dan modal besar. Dibeberapa daerah para nelayan tradisional ini lahan-lahan usaha dan tempat tinggal mereka justru banyak di gusur oleh perusahaan-perusahaan pertambangan besar, yang limbah-limbah kimianya mematikan habitat ikan sebagai sumber mata pencaharian mereka sehari-hari.

Perlawanan kaum tani dan nelayan walaupun tidak sebesar dan semasif gerakan buruh, dapat kita jumpai setiap harinya di media, umumnya mereka menolak penggusuran lahan, menolak keberadaan perusahaan-perusahaan besar yang mematikan mata pencaharian mereka. meminta pemerintah menurunkan harga pupuk dan bibit, menuntut pemerintah untuk melindungi hasil panen dari para spekulan pasar, meminta pemerintah mengurangi impor pangan, agar hasil pertanian mampu diserap oleh pasar, Meminta subsidi dan permodalan yang murah dan mudah dalam rangka menaikan hasil produksi mereka dan lain-lain.

C.     Sektor Mahasiswa.
Mahasiswa yang merupakan representasi dari kaum muda, dalam sejarahnya merupakan  element perubahan dan pembaharu (AGENT OF CHANGE)  dalam mendobrak dan merespon tatanan sistem ekonomi-politik yang merugikan rakyat.
Akan tetapi situasi Mahasiswa di kampus-kampus saat ini terlihat sepi, adem ayem dan pasif, seolah-olah sedang tidak terjadi persoalan di tengah rakyat.
Sistem Neoliberalisme pendidikan yang berlangsung saat ini, seolah-olah menina-bobokan kondisi kehidupan kampus, orientasi perjuangan, kesadaran dan pemikiran Mahasiswa seakan semakin jauh dari realita Kondisi kehidupan rakyat sebagai Ibu Kandungnya.

Mahasiswa saat ini umumnya hanya disibukan dengan aktifitas perkuliahaan saja (kuliah pulang), kalaupun ada beberapa mahasiswa yang aktif di dalam lingkungan kampus, mayoritas hanya terjebak pada aktifitas normatif di kampus yang menyangkut Hobi, seni dan jenis kegiatan kesenangan lainya (Hedonisme Kampus).
Mayoritas kehidupan mahasiswa adalah Individualis, apatis terhadap kegiatan-kegiatan yang menyangkut kehidupan rakyat dan cenderung prakmatis ingin cepat-cepat menyelesaikan kuliah, lalu bekerja.

Tradisi Kelompok study, pers kampus dan kegiatan bersolidaritas di kalangan mahasiswa telah digantikan dengan serangkaian kegiatan karitatif (penggalangan dana, jalan-jalan ke  luar kota dll).

Padahal persoalan yang dilamai mahasiswa dalam sistem Neoliberalisme pendidikan juga semakin komplek dan sangat merugikan mahasisiwa, seperti :
è    Mahalnya biaya pendidikan (uang semester, buku, Praktikum dll).
è    Otoritarianisme Absen, yang membuat ruang gerak aktifitas mahasiswa sangat terbatas.
è    Sistem kurikulum perkuliahaan yang sangat kaku dan tidak fleksibel (kurikulum pasar), minimnya fasilitas penunjang belajar dan kegitan kemahasiswaan.
è    Organisasi Formal kemahasiswaan seperti BEM, BPM, Senat Mahasiswa yang kurang demokratis, dalam mewakili kepentingan real mahasisiwa (bandingkan dengan bentuk Dewan Mahasiswa “DEMA” yang pernah di pakai tahun 1960- 1970an). Dan lain-lain.

Perlawanan atau aksi dan tuntutan Gerakan mahasiswa walaupun sayup-sayup masih sering terdengar, walaupun tidak sebesar pada era tahun 60, 70 dan membesar pada saat gerakan Mahasiswa 98.
Gerakan Mahasiswa saat ini umumnya lebih banyak terjebak sebatas pada isyu-isyu elite kekuasaan, walaupun masih sering terdengar gerakan mahasiswa yang beberapa aktu lalu aksi menolak kenaikan TDL, harga-harga, kasus korupsi dan kasus skandal Century.
Akan tetapi pola gerakanya sangat fragmentatif, insidental dan lebih banyak terbawa arus  pertarungan elite-elite politik.
Maka penting bagi kita untuk merumuskan kembali gerakan mahasiswa kerakyatan dimasa depan. Yang akan menggugat akar persoalan dari tatanan atau sistem ekonomi poliik yang semakin menyengsarakan rakyat banyak.

Diluar ke 4 sektor diatas, masih ada sektor Kaum miskin perkotaan, yang geliat perlawanannya dalam menghadapi penggusuran dan kesewenang-wenangan aparat secara sporadis sering kali kita saksikan di media-media masa.


4.     Menata kembali Bangkitnya Gerakan Rakyat dan Perlawanan terhadap sistem Neoliberalisme.

Diatas kita telah mengidentifikasi bahwa pemerintahan SBY saat ini berkuasa di topang oleh suatu sistem Ekonomi-Politik Neoliberalisme, yang makin memiskinkan dan meminggirkan rakyat sebagai pihak yang memiliki kedaulatan penuh atas tanah dan tumpah darah negeri ini.

Maka penting kiranya bagi kita untuk segera merapikan diri bersama sektor-sektor rakyat lainya untuk bahu-membahu berjuang bersama-sama. Tentunya dengan memperkuat keanggotaan Organisasi kita di kampus, dan mulai menghimpun kawan-kawan kita dikampus-kampus lain untuk bergabung, bekerjasama dan belajar bersama-sama dalam wadah FMLK yang sedang kita bangun ini. Terimakasih.

P R D (Partai Rakyat Demokratik)

YB Mangunwijaya

PRD kini dicap sebagai entah dalang penunggang pembonceng penyulut
penghasut biang atau anak PKI entah apa lagi, pokoknya harus digebuk. Saya
sendiri ternyata makhluk terbelakang suku terasing, sebab sebelum
peristiwa 27 Juli yang lalu belum pernah mendengar tentang adanya PRD.
Memang Wiji Thukul saya kenal sejak lebih dari 10 tahun yang lalu, dan
terakhir berjumpa di padang kampus Monash University kira-kira empat tahun
yang lalu. Ia sedang tour puisi. Pusinya saya sukai karena melagukan
amanat penderitaan rakyat yang harus saya dengar serius kalau saya masih
ingin disebut rohaniwan. Maka saya terkejut ketika namanya diikat pada
ekor Kongres PDI di Medan yang "mengasyikkan" menyaingi Atlanta itu.

Saya bukan politikus praktis yang punya kompetensi untuk menilai apa betul
adik-adik PRD dan yang disebut-sebut onderbau-onderbau itu komunis atau
tidak, marxis atau leninis atau maois atau aiditis atau ternyata hanya
budimanis biasa (bukan Arief Budiman tetapi Budiman Sudjatmiko, dua-duanya
nama amat indah dari segi sastra yang membuat saya iri). Saya hanya
rohaniwan biasa yang juga biasanya dan sepantasnya empatisan dan
simpatisan kaum muda, terserah muda manis atau muda nakal sama saja.
Mungkin itu karena fase hidup saya suadh termasuk lansia (sebutan puitis
juga yang tidak perlu dicemburui) dan dalam suasana mogok sekarang
sepantasnya solider ikut diserang mogok-jantung.

Maka tulisan sekitar PRD ini juga sama sekali tidak politis teoritis
apalagi praktis. Dan jelas tanpa penthungan di tanngan atau gas air mata
di selang atau peluru timah atau karet di laras pipa mesiu dsb. Saya hanya
ingin menyatakan empati dan simpati saya kepada anak-anak muda yang sedang
terdakwa (belum divonis, jadi harus kita hargai dengan
praduga-tak-bersalah jika kita hidup dalam negara hukum)) dan yang
kesalahannya konon hanya: kurang sabar. Tetapi yah mana di dunia ini ada
anak muda yang sabar, kan namanya lalu tidak muda lagi, tetapi kakek gaek
seperti saya ini. Dan lagi, bila para kawulo mudo Indonesia sekarang saya
banding dengan muda mudi Belanda Jerman Inggris, atau lebih baik dibanding
dengan generasi muda zaman Soekarno-Hatta dan Soempah Pemoeda dulu, wah
kok seperti serimpi Solo saja. Tetapi sabar dan kurang sabar itu memang
relatif, tidak dapat diukur eksak matematis.

Nah, foto Wiji Thukul di koran jelas mirip orangnya. Hanya tidak kelihatan
bahwa telinganya belum sembuh betul dan matanya semakin berdarah setengah
buta akibat disiksa karena menurut Republika (koran bermutu) kepalanya
yang penuh puisi dibenturkan secara kurang puitis pada body jeep yang
tidak puitis milik aparat negara (Pancasila) oleh tentu saja oknum di luar
tanggung jawab negara hukum berdasarkan UUD 45, dan yang tidak pernah
dapat kita mintai tanggung jawab. Tetapi itu tidak penting (walaupun
sebenarnya penting).

Foto Budiman Sudjatmiko di majalah Forum Keadilan (yang aneh sekali mirip
tempo itu, padahal tempo sudah dibredel) tampak muram, seperti pemuda
hardebu (hari depan kelabu), tetapi menurut koran lagi, ia pemuda radikal
(dari akar kata Latin radix = akar, mungkin akar rumput) dan tegas
bertekat rawe-rawe rantas malang-malang putung. Saya amat-amati wajahnya,
kok mirip tokoh mahasiswa Rusia di bawah yanah melawan kaum komunis dalam
film Dokter Zhivago (buku aslinya ciptaan pemenang Hadia Nobel Sastra,
Boris Pasternak) yang terkenal itu. Jadi bertolak belakang dengan tudingan
dari para yang berwenang. Tetapi dalam foto yang dimuat harian republika
ia lebih ceria meski masih terlalu serius seram untuk zaman diskotek
sekarang. Lain dari yang berdiri di kirinya, yang tersenyum ramah khas ala
Indonesia. Di foto lain tampak ada seorang gadis (berkacamata intelektual)
duduk di meja pengurus pada upacara deklarasi PRD, sedangkan di muka maik
tampak sang pemenang Hadiah Magsaysay Pramoedya Ananta Toer berpidato
(dari kertas agar tidak keseleyo mungkin). Apakah gadis itu yang bernama
F. Ria Susanti, kepala Departemen Hubungan Internasional PRD ? Cerdas
juga. Ada foto pula dari Andi Arief (lho, pemberani-pemberani kok selalu
pakai nama Arief, Arief Rahman Hakim misalnya dan yang diam di Salatiga
itu). Ia seperti anak SMU simpatik yang baru saja latihan bola basket.

Tetapi yang paling mengesankan ialah foto besar dalam harian yang
didirikan oleh Menristek B.J. Habibie tadi, yang memperlihatkan sekelompok
anak-anak remaja berikat kepala gaya samurai berhuruf PRD dengan simbol
bintang dan cuilan roda-gigi. Mereka tampak mengacungkan tangan berkepal
tegar ke atas (mengepalnya lain caranya dengan kebiasaan komunis: ibu jari
menunjuk ke surga, sedangkan ibu-jari kepal komunis menunjuk ke arah
Moskwa atau Beijing) sambilo berteriak aaa atau ooo tidak dapat dianalisis
dari foto. Melihat anak-anak remaja yang masih hijau kecil dan lucu itu
(ndemenakake dalam bahasa Jawa, artinya: membuat hati senang sayang) saya
bergumam sendirian yang mudah-mudahan tidak terdengar orang lain: ah mosok
anak-anak lucu ndemenakake ini komunis ? Komunis dalam pengertian
masyarakat ramai jangan diartikan penganut filsafat Marx atau teori
politik bolsyewisme, leninisme, stalinisme, maoisme atau aiditisme, tetapi
penjahat buas ganas kakeknya iblis yang oleh aparat harus diinjak mampus
seperti coro atau ditembak klenger (tak berkutik) seperti macan kumbang.
Entahlah, saya selalu ingin jujur: melihat foto mengeharukan begitu
ndemenakake itu, kok malahan saya ini digenangi rasa empati atau simpati
kepada mereka. Walaupun meskipun kendatipun biarpun itu sangat terlarang.
Maklumlah, saya bukan intel tetapi rohaniwan biasa.

Mungkin dengan mengaku terlalu jujur seperti ini saya akan dituduh sebagai
orang sentimentil atau romantikus atau tukang mimpi atau dalam bahasa PKI:
utopis, celakanya disebut subversif, hanya karena saya merasakan sentuhan
sayang simpati sepoi-sepoi tetapi mendalam kepada anak-anak ndemenakake
itu, yang sekarang pasti lari tunggang langgang disembunyikan orangtuanya
entah dimana, di Boven Digul, Nusa Kambangan atau Pulau Buru atau entahlah
yang masih punya hutan lebat untuk menyembunyikan mereka yang malang itu
(sementara). Dan rasanya saya menangis, dengan keluhan kakek-nenek Jawa:
"Duh Gusti, nyuwun kawelasan." (Tuhan, mohon ampun). "Cah durung iso sisi
ngono kok ya komunis ki ketemu pirang perkoro." (Anak yang masih belum
bisa membersihkan lendir hidung seperti itu kok komunis itu kesimpulan
nalar macam apa). Tetapi tentulah itu perasaan yang terlarang. Maka dengan
ini resmi saya cabut kembali, "daripada heboh" kata orang-orang tua kuna.

Tetapi salut kagum dan doa saya panjatkan di dalam hati saya ini. Ini
sebetulnya munafik, sebab mengapa sikap dalam hati kok dituangkan dalam
karangan harian ibu-kota. Tetapi sudahlah, munafik dan munafik pun
relatif, tidak perlu dibikin heboh. Yang penting anak-anak itu harus
dilindungi dan disayangi. Jangan diuber-uber. Kita dulu kan juga pernah
remaja dan muda, bukan. Dan seandainya pun mereka salah, ya sudahlah,
siapa zaman sekarang ini tidak salah. Siapa yang tidak pernah salah boleh
melempar batu rajaman pada yang pertama. Memang semua ruwet. Tidak perlu
menambahi keruwetan. Komunis ? Leninisme, Stalinisme, Maoisme, Aiditisme?
Terserah, tetapi anak-anak yang terdakwa itu pantas kita sayangi, dan kita
hargai. Ini cara bersikap yang paling bijaksana, dan berani tanggung,
pendirian dan ajuran setiap kakek yang masih ingin disebut kakek yang
biasa normal sayang sama cucu-cucu.

PRADUGA TAK BERSALAH

Ada yang mengatakan secara ilmiah PRD itu varian revolusioner Marxisme.
Tetapi ada pakar (Dr Arbi Sanit, dosen UI, jadi pegawai negeri, jadi aman
untuk dipercaya oleh setiap pegawai negeri yang paling robot sekalipun)
justru berpendapat sebaliknya: peristiwa 27 Juli itu akibat mismanagement
politik pemerintah. Mungkin yang beliau maksud: akibat mismanagement
pengadaan Kongres PDI di Medan. Contohnya, wakil-wakil Irian bercerita
kepada selusin wartawan, mereka dibelikan tiket oleh ... (tidak boleh dan
tiodak perlu disebut karena sudah jelas) dan uang saku yang yahud, dengan
syarat harus alim ikut Kongres PDI di Medan. Tetapi di tengah jalan
berhenti di Jakarta dan menggabungkan diri ke Jl. Diponegoro, mendukung
Megawati Sukarnoputri, wah kok seperti komedi Stambul atau sinetron Sawung
Kampret bikinan Dwi Koen saja.

Tetapi kita harus ingat bahwa Kongres PDI di Medan itu secara resmi tidak
pernah disebut sebagai penyulut api jago merah 27 juli itu. Jadi resmi
juga tidak ada hubungannya dengan kerusuhan yang laporan kronologisnya
(meski over-detailed) disiarkan oleh berbagai sumber on-line internet
(seharusnya demi stabilitas nasional internet itu dilarang).

Mungkin ada pembaca patriot anti-komunis yang mendakwa artikel ini penuh
simpati kepada para perusuh dan pembakar dan pengonar 27 Juli itu. Saya
mohon, jangan gegabah mengambil kesimpulan seperti kebiasaan oknum-oknum.
Di sini saya dengan resmi menyatakan, bahwa saya amat setuju dan mendukung
pernyataan sahabat saya Mohamad Sobary di harian Republika tersebut, tokoh
asli Yogyakarta (persisnya Bantul), yang sudah terkenal sebagai penulis
pojok (tetapi tak pernah memojokkan siapa pun) dan pakar masalah-masalah
sosio-politik di LIPI, yang menyesalkan sekali timbulnya kekerasan yang
menurut beliau tidak perlu terjadi. Ya, saya juga merasakannya begitu.
Tetapi apa dikata, adanya ular karena ia keluar dari telur ular. Begitu
juga rupa-rupanya kekerasan itu keluar dari telur (biasanya banyak)
kekerasan lain. Kekerasan yang awalnya dimulai dimana oleh siapa, nah ini
maafkan, off the record.

Tetapi mengapa kekerasan kok lebih banyak daripada yang lembut manis
(lembut manis seperti Megawati Sukarnoputri, kata anak muda) ? Ya, jawab
Mas Sobary kepada wartawana Republika: "Karena kita sedang dalam situasi
dimana corak kekerasan lebih nyata, lebih besar, lebih melembaga, lebih
tampil dalam sosok struktur sosial, ekonomi dan politik. Sedangkan
kehalusan, kelembutan, perdamaian, dan sikap anti kekerasan itu bersemayam
dalam dunia ide (atau figur Megawati Sukarnoputri, komentar anak-anak muda
itu lagi).

"Selain itu," demikian pakar kita: "karena gerakan kekerasan itu dibunuh
pun akan tumbuh." Waduh, lalu bagaimana ? Santri kita dari Bantul itu
menerangkannya, dan saya tekankan: saya amat setuju: "Lihatlah situasinya
dengan bening, dan kemudian dukunglah upaya penyelesaian konflik secara
dam,ai. Rumah kita lebih baik dibangun tanpa kekerasan." Jadi melihat
dengan bening. Yang dimaksud: jujur obyektif, nanti kan kentara sendiri.
Sesuai dengan kearifan Jawa tetapi sebetulnya universal: becik ketitik olo
ketoro (yang baik itu secara alami akan kelihatan dan dicatat, sedangkan
yang buruk toh akan kentara juga, meskipun ditutup-tutupi).

Maka jikalau sebagian terbesar bangsa Indonesia masih bening hati
nuraninya (saya percaya itu), kita tidak perlu kawatir sekali (tekanan
pada sekali bahwa sebentar lagi, entah sebelum entah sesudah pemilu
mahaluber nanti, yang becik akan ketitik dan yang olo akan ketoro.
Merenung kata-kata mutiara Mas Sobary tadi, saya lalu teringat pada lagu
senggakan (reaksi spontan) sindhen (biduanita tradisional) Yogyakarta atau
Bantul yang sering melagu jenaka erotis nakal tetapi dalam kasus kita
penuh makna: "Jeneh kowe, sing marah-marahi." (kata jeneh sangat sulit
diterjemahkan, tetapi mungkin kalimat nakal itu dapat di-Indonesiakan
bebas: "Salahmu sendiri, kamulah yang memulai, bukan ?" Tetapi sekali
lagi, dalam negara hukum harus berlaku praduga tak bersalah sebelum para
hakim agung dari lembaga yang paling jujur di negeri ini, Mahkamah Agung,
berfatwa.

Agustus 1996

Hari ini 14 Tahun yang lalu... (27 Juli 1996)

Pagi itu sekitar pukul 5.30, aku terbangun karena suasana terdengar agak gaduh dan tegang.
beberapa kawan yg tidur disebelahku juga ikut terbangun, dengan rasa kantuk masih menggantung dan rasa malas untuk bangkit. Kami cepat2 membereskan tempat tidur tidak sempat mandi, masuk kekamar mandi bergantian, lalu bergegas menuju Stasiun Univ Pancasila yg terlihat masih sunyi dan lengang. saat itu sekelebat terbayang kekacauan yg menandai permulaan hari ini..

Dengan rasa tegang, khawatir dan bercampur rasa marah kami menunggu KRL (kereta Rel Listrik) Jabotabek yg beberapa menit kemudian tiba dan berhenti di stasiun itu. dengan bergegas kami segera masuk ke KRL yg sudah dipadati orang2 yg akan menuju ketempat kerja dan aktifitasnya pagi itu.

Setelah melewati beberapa Stasiun, akhirnya KRL itu tiba di Stasiun Cikini, tampak suasana disekitar stasiun terlihat tegang, banyak sekali orang2 berpakaian Seragam Militer lengkap dengan senjata2 laras panjang dan Intel Sipil tampak berjaga2, mengawasi setiap orang yg turun dari KRL tersebut. kami tidak menghiraukan tatapan2 nanar yg tampak berjaga2 dan menyelidik setiap orang yg turun dan melewati Stasiun tsb.

Pemandangan dibawah jembatan Cikini pagi itu masih lengang dan sepi. Tapi ada sesuatu yg tidak biasa, yaitu banyak sekali terlihat aparat Polisi dan Militer AD bersenjata lengkap berjaga disetiap sudut jalan dan gedung2 disekitar jembatan layang dan JL.Diponegoro.

Beberapa saat kemudian aku lihat api kecil dan kepulan asap keluar dari Gedung yg berada di JL.Diponegoro 58 (kantor DPP PDI), beberapa saat kemudian orang2 mulai berdatangan dan bergerombol berdiri di Bawah jembatan cikini, mengingat Aparat menutup Akses jalan ke arah Gedung yg dari kejauhan tampak hancur-berantakan, sisa pertikaian pagi dinihari tadi. Sehingga aku dan masa rakyat yg bergeromol tidak bisa menembus menuju gedung yg tampak dijaga aparat dengan rapat seklai. Didepan gedung tsb msh terlihat segeromobolan org2 berkaus merah dengan selayer merah, berbadan tegap dan berambut cepak bertuliskan Pendukung Kongres Medan, berteriak2 penuh kemenangan. Sementara rintihan org2 yg didalam gedung dan bercak sisa2 darah masih menggenag di jalan itu. Kami yg tidak dapat menuju Kantor DPP PDI mulai menyadari, bahwa gedung itu telah direbut paksa, dan org2 yg bertahan semalam diserbu, dianiyaya, dipukuli dan beberapa dibunuh dg sadisnya oleh gabungan Preman berpakaian sipil dan Pasukan Militer lengkap dg Truk2 Militer dan Panser .

Beberapa jam kemudian massa yg berdatangan mulai bertambah, semakin membesar dan menyemut dibawah jembatan, terhalang utk masuk ke jalan Diponegoro, massa terlihat mulai emosional.
Beberapa kawan lalu membuat barisan dan Panggung Mimbar bebas tepat didepan Barikade Aparat. Pidato dari berbagai elemen mulai dilontarkan (PDI, PRD, MARI, PUDI, SMID, KIPP, PIJAR dll) yg intinya mengecam kebrutalan aparat saat melakukan perebutan paksa kantor DPP PDI, mendukung kepemimpinan Megawati, serta menolak Kongres Boneka PDI Soeryadi yg di Dukung oleh Jenderal Soeharto beserta Kroni2nya. Masa mulai meneriakan ABRI Pembunuh... Soeharto Dalangnya... Megawati Presiden Baru...
Beberapa kali Orator meminta aparat utk membuka Blokade, akan tetapi peringatan yg disampaikan berkali2 utk membuka blokade tdk digubris. beberapa kali massa secara spontan mencoba utk menembus Barikade aparat, tapi coba dicegah oleh kawan2 SMID dan PRD, mengingat barisan massa blm solid dan rapih. Semakin siang massa yang berdatangan terus bertambah, diperkirakan ada kira2 sekitar 70.000 - 100.000 massa, Menyemut mulai dari bawah jembatan Cikini sampai depan LBH Jakarta, sebagian berpencar2 sampai Salemba, juga melebar sampai depan pasar Cikini dan depan kantor DPP Golkar disebalah kanan, sementara mssa penduduk kampung Manggarai juga menyemut sampai Tugu Proklamasi disebelah kiri.

Massa yg mulai marah dan emosional akibat pembantaian yg terjadi dini hari tadi semakin membesar dan tidak terbendung lagi, Akhirnya tepat Pukul 15.00 massa yg tampak marah dan mulai emosional secara bersama2 mulai merapikan barisan, dg di Komando oleh Orator untuk mulai mengultimatum Aparat dengan menghitung satu... dua... tiga... Benturan, bentrokan, saling pikul, saling lempar dan akhirnya Chaos masal-pun tidak terhindarkan lagi....

Puluhan ribu Rakyat Jakarta mengamuk, bertarung dijalan2 melawan Tentara dan Polisi, suatu pemandangan yg menakjubkan dalam sejarah Indonesia Pasca 1965.
Mereka bersama2 bahu-membahu berusaha menembus Barikade. Sejurus kemudian aparat Militer tampak kewalahan dan Mundur ke belakang ke arah Gedung DPP PDI, ternyata disana Seribu lebih aparat dari berbagai kesatuan seperti Kodam Jaya, Kostrad, Brigiv I, Brimob dan Barisan Panser serta water canon telah bersiap maju, merangsek menghantam Rakyat Jakarta yg sedang mengamuk, bertarung di jalan2 dg senjata seadanya, Batu, bambu, Kayu, Besi dll.
Militer yg bersenjata lengkap (Pentungan, Gas Airmata, Bayonet, Pistol, Senapan, panser dll) perlahan2 mulai memukul mundur Barisan Massa, Perlawanan masa terpecah konsentarsinya menjadi 3 titik, sebagian terus melakukan perlawanan mundur kearah Tugu Proklamasi, sebagian mundur ke arah Pasar Cikini dan sebagian besar terus melawan dan melempari batu kearah serbuan aparat, sambil mundur kearah Salemba.

Beberapa saat kemudian, pertempuran jalanan antara Rakyat dan Tentara yg tadinya terkonsentrasi di JL.Diponegoro mulai meluas ke Salemba, Pramuka, Senen, manggarai, sekitar TIM. beberapa Massa yg marah mulai membakar Gedung Persit Kartika Chandra yg berada didepan Kampus UI Salemba, sebagai luapan kekesalanya terhadap Tentara dan Rejim Orba. Rakyat yg marah terus melakukan perlawanan di jalan2 dan gank2 sempit antara Perempatan Pramuka, Berland, Salemba, Paseban hingga ke Senen. perlawana yg memecahkan kebekuan panjang itu berlangsung sampai tengah malam, hingga keesokan harinya, dikampung2 miskin kota Jakarta..

Api yg tadinya hanya menyala kecil di Jl.Diponegoro 58, beberapa jam kemudian berkobar menyala dan makin membesar, melanda hampir sebagian besar Jakarta Pusat. tak terbayangkan peristiwa semacam ini sebelumnya, di Jantung Kota tempat Bertahtanya Jenderal Soeharto yg menjalankan pemerintahanya secara Represif dan Militeristik, selama 30 tahun diatas mayat Jutaan Orang yg menjadi Tumbal kekejamanya, Mereka yg lama tertidur lelap, hari itu mulai menggeliat dan bangkit melakukan perlawanannya.

27 Juli 1996, 14 tahun yg lalu merupakan Tonggak sejarah awal Perlawanan Massa Rakyat di Indonesia dan utamanya Rakyat Jakarta, dalam upayanya menggulingkan Rejim Otoriterianisme Orba, yg pd akhirnya sejarah mencatat, perjuangan tsb mengalamai klimaksnya pada tahun2 1998 dan sesudahnya...

Bagiku dan kawan2, Peristiwa itu merupakan Tembakan Salvo bagi proses perburuan, pengejaran dan penuh ketegangan selama bertahun2, hingga situasi Politik sedikit mereda dikemudian hari...

Selama masa2 itu aku menyaksikan dg mata kepalaku sendiri, Telah Banyak Korban meninggal, hilang, cacat, luka2, trauma psikologis, sakit mental dll akibat kekejaman sebuah Rejim yg mengatas namakan Rust and Order (Stabilitas)..

Aku tundukan kepala yg sedalam2nya untuk Para Martir, Kawan2 yg dg gagah berani telah dan pernah menyumbangkan miliknya utk Orang banyak...



Blitar, 27 Juli 2010