Senin, 17 Januari 2011

P R D (Partai Rakyat Demokratik)

YB Mangunwijaya

PRD kini dicap sebagai entah dalang penunggang pembonceng penyulut
penghasut biang atau anak PKI entah apa lagi, pokoknya harus digebuk. Saya
sendiri ternyata makhluk terbelakang suku terasing, sebab sebelum
peristiwa 27 Juli yang lalu belum pernah mendengar tentang adanya PRD.
Memang Wiji Thukul saya kenal sejak lebih dari 10 tahun yang lalu, dan
terakhir berjumpa di padang kampus Monash University kira-kira empat tahun
yang lalu. Ia sedang tour puisi. Pusinya saya sukai karena melagukan
amanat penderitaan rakyat yang harus saya dengar serius kalau saya masih
ingin disebut rohaniwan. Maka saya terkejut ketika namanya diikat pada
ekor Kongres PDI di Medan yang "mengasyikkan" menyaingi Atlanta itu.

Saya bukan politikus praktis yang punya kompetensi untuk menilai apa betul
adik-adik PRD dan yang disebut-sebut onderbau-onderbau itu komunis atau
tidak, marxis atau leninis atau maois atau aiditis atau ternyata hanya
budimanis biasa (bukan Arief Budiman tetapi Budiman Sudjatmiko, dua-duanya
nama amat indah dari segi sastra yang membuat saya iri). Saya hanya
rohaniwan biasa yang juga biasanya dan sepantasnya empatisan dan
simpatisan kaum muda, terserah muda manis atau muda nakal sama saja.
Mungkin itu karena fase hidup saya suadh termasuk lansia (sebutan puitis
juga yang tidak perlu dicemburui) dan dalam suasana mogok sekarang
sepantasnya solider ikut diserang mogok-jantung.

Maka tulisan sekitar PRD ini juga sama sekali tidak politis teoritis
apalagi praktis. Dan jelas tanpa penthungan di tanngan atau gas air mata
di selang atau peluru timah atau karet di laras pipa mesiu dsb. Saya hanya
ingin menyatakan empati dan simpati saya kepada anak-anak muda yang sedang
terdakwa (belum divonis, jadi harus kita hargai dengan
praduga-tak-bersalah jika kita hidup dalam negara hukum)) dan yang
kesalahannya konon hanya: kurang sabar. Tetapi yah mana di dunia ini ada
anak muda yang sabar, kan namanya lalu tidak muda lagi, tetapi kakek gaek
seperti saya ini. Dan lagi, bila para kawulo mudo Indonesia sekarang saya
banding dengan muda mudi Belanda Jerman Inggris, atau lebih baik dibanding
dengan generasi muda zaman Soekarno-Hatta dan Soempah Pemoeda dulu, wah
kok seperti serimpi Solo saja. Tetapi sabar dan kurang sabar itu memang
relatif, tidak dapat diukur eksak matematis.

Nah, foto Wiji Thukul di koran jelas mirip orangnya. Hanya tidak kelihatan
bahwa telinganya belum sembuh betul dan matanya semakin berdarah setengah
buta akibat disiksa karena menurut Republika (koran bermutu) kepalanya
yang penuh puisi dibenturkan secara kurang puitis pada body jeep yang
tidak puitis milik aparat negara (Pancasila) oleh tentu saja oknum di luar
tanggung jawab negara hukum berdasarkan UUD 45, dan yang tidak pernah
dapat kita mintai tanggung jawab. Tetapi itu tidak penting (walaupun
sebenarnya penting).

Foto Budiman Sudjatmiko di majalah Forum Keadilan (yang aneh sekali mirip
tempo itu, padahal tempo sudah dibredel) tampak muram, seperti pemuda
hardebu (hari depan kelabu), tetapi menurut koran lagi, ia pemuda radikal
(dari akar kata Latin radix = akar, mungkin akar rumput) dan tegas
bertekat rawe-rawe rantas malang-malang putung. Saya amat-amati wajahnya,
kok mirip tokoh mahasiswa Rusia di bawah yanah melawan kaum komunis dalam
film Dokter Zhivago (buku aslinya ciptaan pemenang Hadia Nobel Sastra,
Boris Pasternak) yang terkenal itu. Jadi bertolak belakang dengan tudingan
dari para yang berwenang. Tetapi dalam foto yang dimuat harian republika
ia lebih ceria meski masih terlalu serius seram untuk zaman diskotek
sekarang. Lain dari yang berdiri di kirinya, yang tersenyum ramah khas ala
Indonesia. Di foto lain tampak ada seorang gadis (berkacamata intelektual)
duduk di meja pengurus pada upacara deklarasi PRD, sedangkan di muka maik
tampak sang pemenang Hadiah Magsaysay Pramoedya Ananta Toer berpidato
(dari kertas agar tidak keseleyo mungkin). Apakah gadis itu yang bernama
F. Ria Susanti, kepala Departemen Hubungan Internasional PRD ? Cerdas
juga. Ada foto pula dari Andi Arief (lho, pemberani-pemberani kok selalu
pakai nama Arief, Arief Rahman Hakim misalnya dan yang diam di Salatiga
itu). Ia seperti anak SMU simpatik yang baru saja latihan bola basket.

Tetapi yang paling mengesankan ialah foto besar dalam harian yang
didirikan oleh Menristek B.J. Habibie tadi, yang memperlihatkan sekelompok
anak-anak remaja berikat kepala gaya samurai berhuruf PRD dengan simbol
bintang dan cuilan roda-gigi. Mereka tampak mengacungkan tangan berkepal
tegar ke atas (mengepalnya lain caranya dengan kebiasaan komunis: ibu jari
menunjuk ke surga, sedangkan ibu-jari kepal komunis menunjuk ke arah
Moskwa atau Beijing) sambilo berteriak aaa atau ooo tidak dapat dianalisis
dari foto. Melihat anak-anak remaja yang masih hijau kecil dan lucu itu
(ndemenakake dalam bahasa Jawa, artinya: membuat hati senang sayang) saya
bergumam sendirian yang mudah-mudahan tidak terdengar orang lain: ah mosok
anak-anak lucu ndemenakake ini komunis ? Komunis dalam pengertian
masyarakat ramai jangan diartikan penganut filsafat Marx atau teori
politik bolsyewisme, leninisme, stalinisme, maoisme atau aiditisme, tetapi
penjahat buas ganas kakeknya iblis yang oleh aparat harus diinjak mampus
seperti coro atau ditembak klenger (tak berkutik) seperti macan kumbang.
Entahlah, saya selalu ingin jujur: melihat foto mengeharukan begitu
ndemenakake itu, kok malahan saya ini digenangi rasa empati atau simpati
kepada mereka. Walaupun meskipun kendatipun biarpun itu sangat terlarang.
Maklumlah, saya bukan intel tetapi rohaniwan biasa.

Mungkin dengan mengaku terlalu jujur seperti ini saya akan dituduh sebagai
orang sentimentil atau romantikus atau tukang mimpi atau dalam bahasa PKI:
utopis, celakanya disebut subversif, hanya karena saya merasakan sentuhan
sayang simpati sepoi-sepoi tetapi mendalam kepada anak-anak ndemenakake
itu, yang sekarang pasti lari tunggang langgang disembunyikan orangtuanya
entah dimana, di Boven Digul, Nusa Kambangan atau Pulau Buru atau entahlah
yang masih punya hutan lebat untuk menyembunyikan mereka yang malang itu
(sementara). Dan rasanya saya menangis, dengan keluhan kakek-nenek Jawa:
"Duh Gusti, nyuwun kawelasan." (Tuhan, mohon ampun). "Cah durung iso sisi
ngono kok ya komunis ki ketemu pirang perkoro." (Anak yang masih belum
bisa membersihkan lendir hidung seperti itu kok komunis itu kesimpulan
nalar macam apa). Tetapi tentulah itu perasaan yang terlarang. Maka dengan
ini resmi saya cabut kembali, "daripada heboh" kata orang-orang tua kuna.

Tetapi salut kagum dan doa saya panjatkan di dalam hati saya ini. Ini
sebetulnya munafik, sebab mengapa sikap dalam hati kok dituangkan dalam
karangan harian ibu-kota. Tetapi sudahlah, munafik dan munafik pun
relatif, tidak perlu dibikin heboh. Yang penting anak-anak itu harus
dilindungi dan disayangi. Jangan diuber-uber. Kita dulu kan juga pernah
remaja dan muda, bukan. Dan seandainya pun mereka salah, ya sudahlah,
siapa zaman sekarang ini tidak salah. Siapa yang tidak pernah salah boleh
melempar batu rajaman pada yang pertama. Memang semua ruwet. Tidak perlu
menambahi keruwetan. Komunis ? Leninisme, Stalinisme, Maoisme, Aiditisme?
Terserah, tetapi anak-anak yang terdakwa itu pantas kita sayangi, dan kita
hargai. Ini cara bersikap yang paling bijaksana, dan berani tanggung,
pendirian dan ajuran setiap kakek yang masih ingin disebut kakek yang
biasa normal sayang sama cucu-cucu.

PRADUGA TAK BERSALAH

Ada yang mengatakan secara ilmiah PRD itu varian revolusioner Marxisme.
Tetapi ada pakar (Dr Arbi Sanit, dosen UI, jadi pegawai negeri, jadi aman
untuk dipercaya oleh setiap pegawai negeri yang paling robot sekalipun)
justru berpendapat sebaliknya: peristiwa 27 Juli itu akibat mismanagement
politik pemerintah. Mungkin yang beliau maksud: akibat mismanagement
pengadaan Kongres PDI di Medan. Contohnya, wakil-wakil Irian bercerita
kepada selusin wartawan, mereka dibelikan tiket oleh ... (tidak boleh dan
tiodak perlu disebut karena sudah jelas) dan uang saku yang yahud, dengan
syarat harus alim ikut Kongres PDI di Medan. Tetapi di tengah jalan
berhenti di Jakarta dan menggabungkan diri ke Jl. Diponegoro, mendukung
Megawati Sukarnoputri, wah kok seperti komedi Stambul atau sinetron Sawung
Kampret bikinan Dwi Koen saja.

Tetapi kita harus ingat bahwa Kongres PDI di Medan itu secara resmi tidak
pernah disebut sebagai penyulut api jago merah 27 juli itu. Jadi resmi
juga tidak ada hubungannya dengan kerusuhan yang laporan kronologisnya
(meski over-detailed) disiarkan oleh berbagai sumber on-line internet
(seharusnya demi stabilitas nasional internet itu dilarang).

Mungkin ada pembaca patriot anti-komunis yang mendakwa artikel ini penuh
simpati kepada para perusuh dan pembakar dan pengonar 27 Juli itu. Saya
mohon, jangan gegabah mengambil kesimpulan seperti kebiasaan oknum-oknum.
Di sini saya dengan resmi menyatakan, bahwa saya amat setuju dan mendukung
pernyataan sahabat saya Mohamad Sobary di harian Republika tersebut, tokoh
asli Yogyakarta (persisnya Bantul), yang sudah terkenal sebagai penulis
pojok (tetapi tak pernah memojokkan siapa pun) dan pakar masalah-masalah
sosio-politik di LIPI, yang menyesalkan sekali timbulnya kekerasan yang
menurut beliau tidak perlu terjadi. Ya, saya juga merasakannya begitu.
Tetapi apa dikata, adanya ular karena ia keluar dari telur ular. Begitu
juga rupa-rupanya kekerasan itu keluar dari telur (biasanya banyak)
kekerasan lain. Kekerasan yang awalnya dimulai dimana oleh siapa, nah ini
maafkan, off the record.

Tetapi mengapa kekerasan kok lebih banyak daripada yang lembut manis
(lembut manis seperti Megawati Sukarnoputri, kata anak muda) ? Ya, jawab
Mas Sobary kepada wartawana Republika: "Karena kita sedang dalam situasi
dimana corak kekerasan lebih nyata, lebih besar, lebih melembaga, lebih
tampil dalam sosok struktur sosial, ekonomi dan politik. Sedangkan
kehalusan, kelembutan, perdamaian, dan sikap anti kekerasan itu bersemayam
dalam dunia ide (atau figur Megawati Sukarnoputri, komentar anak-anak muda
itu lagi).

"Selain itu," demikian pakar kita: "karena gerakan kekerasan itu dibunuh
pun akan tumbuh." Waduh, lalu bagaimana ? Santri kita dari Bantul itu
menerangkannya, dan saya tekankan: saya amat setuju: "Lihatlah situasinya
dengan bening, dan kemudian dukunglah upaya penyelesaian konflik secara
dam,ai. Rumah kita lebih baik dibangun tanpa kekerasan." Jadi melihat
dengan bening. Yang dimaksud: jujur obyektif, nanti kan kentara sendiri.
Sesuai dengan kearifan Jawa tetapi sebetulnya universal: becik ketitik olo
ketoro (yang baik itu secara alami akan kelihatan dan dicatat, sedangkan
yang buruk toh akan kentara juga, meskipun ditutup-tutupi).

Maka jikalau sebagian terbesar bangsa Indonesia masih bening hati
nuraninya (saya percaya itu), kita tidak perlu kawatir sekali (tekanan
pada sekali bahwa sebentar lagi, entah sebelum entah sesudah pemilu
mahaluber nanti, yang becik akan ketitik dan yang olo akan ketoro.
Merenung kata-kata mutiara Mas Sobary tadi, saya lalu teringat pada lagu
senggakan (reaksi spontan) sindhen (biduanita tradisional) Yogyakarta atau
Bantul yang sering melagu jenaka erotis nakal tetapi dalam kasus kita
penuh makna: "Jeneh kowe, sing marah-marahi." (kata jeneh sangat sulit
diterjemahkan, tetapi mungkin kalimat nakal itu dapat di-Indonesiakan
bebas: "Salahmu sendiri, kamulah yang memulai, bukan ?" Tetapi sekali
lagi, dalam negara hukum harus berlaku praduga tak bersalah sebelum para
hakim agung dari lembaga yang paling jujur di negeri ini, Mahkamah Agung,
berfatwa.

Agustus 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar